Langsung ke konten utama

Generasi Z

Pedagogi Zetizen

Fathurrofiq  ;  Mengajar bahasa di Al Hikmah Surabaya; Sedang menyusun kurikulum Filsafat Bahasa untuk rintisan Sekolah Tinggi Ilmu Alquran dan Sains
(STIQSI) Al Ishlah Sendang, Paciran, Lamongan (JAWA POS, 16 Maret 2016)

ISU generasi Zetizen telah digemakan oleh Jawa Pos. Rahma Sugihartati (Jawa Pos, 11/03/2016) dari Unair memberikan opini yang menyasarkan kritik pada dunia pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah. Terutama di sekolah yang masih gagap memberikan respons pedagogis pada fenomena munculnya generasi ini. Pada aras inilah peran pendidik sebagai agen kurikulum dalam pendidikan perlu diredefinisi.


Gawai, Dunia Baru

Begitu anak dibelikan gawai (gadget), ia akan memasuki dunianya dengan sangat khusyuk. Dunia yang tergenggam di ponsel cerdasnya itulah yang membuatnya sangat cepat berkomunikasi dengan sejuta orang yang nun jauh darinya.'

Namun, pada saat yang sama, dunia yang dapat ia lipat dengan cepat dan tipis di tangannya itu juga membentangkan jarak personal. Ia dengan mudah bisa asyik sendirian mengutak-atik gawai tanpa peduli dengan orang tua yang mengajak berbincang di meja makan. Jika gawai membuatnya tidak hirau dengan orang tua dan sekelilingnya, apakah ia tidak usah dibelikan saja?
Tanpa gawai, niscaya ia akan tertinggal oleh laju percepatan zaman teknologi informasi. Tanpa gawai sama dengan mengurangi aksesnya pada dunia. Sementara itu, teman-temannya yang bergawai telah melaju jauh dan melalang buana secara maya ke antero alam semesta.

Sejumlah ahli seperti Lancaster dan Stillman menyebut mereka sebagai generasi Y. Sementara itu, budayawan Radhar Panca Dahana menyebut mereka generasi Z. Generasi ini ditandai oleh keunggulan mereka dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Mereka ini, di ranah teknologi informasi dan dunia maya, bukanlah ''pendatang'', melainkan ''penduduk asli''.
Mereka inilah konsumen setia gawai. Di Indonesia, menurut hitungan Kemenkominfo, konsumsi gawai terus meningkat. Dari 2 juta pada 2009 menjadi 4,5 juta (2010); 9,5 juta (2011); 13,2 juta (2012); dan 15,3 juta (2013). Tren penjualan tersebut dipastikan meningkat lagi pada 2014 dan semakin bertambah pada 2016 ini. Sangat mungkin dalam hitungan waktu yang tidak lama jumlah gawai yang beredar di pasar akan melebihi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta. Sebab, satu orang bisa saja memiliki lebih dari satu gawai.

Imam Baru

Lebih dari sebuah peranti teknologi, gawai telah menjelma menjadi media penyelia dan penyedia limpahan pesan. Persis seperti yang diyakini dalam mazhab McLuchan: media adalah juga pesan. Bagi McLuchan, tidak ada pemisahan antara media sebagai perangkat dan pesan sebagai isinya. Keduanya secara simultan menjadi pesan. Dengan aplikasi teknologi informasi, pesan itu lalu jalin-menjalin antargawai di seluruh penjuru dunia membentuk jejaring dan web yang jauh lebih rumit daripada jejaring laba-laba. Dengan gawai itulah anak-anak kita berada di tengah sirkuit informasi.
Di tengah sirkuit pesan yang mengelilingi, anak-anak kita mendapat kelimpahan informasi dalam ukuran dan jumlah yang nyaris tidak tepermai. Guru atau pendidik yang hanya cakap menumpuk informasi, apalagi informasi lampau, hanya akan dianggap kicauan angin lalu. Ia akan tidak laku di mata generasi gawai.

Belajar pun telah bisa menembus dinding sekolah yang nirkelas. Guru atau yang dianggap memiliki otoritas keilmuan bukan lagi imam informasi. Mesin pelacak seperti Google, Yahoo, dan YouTube menjadi imam baru dalam menyediakan informasi. Respek terhadap guru sebagai pemberi informasi sedang mengalami redefinisi.

Tidak berlebihan mengatakan peta kognisi generasi gawai telah mengalami perubahan drastis dari peta kognisi tradisi tulis sampai tradisi lisan. Benar apa yang dikatakan Neil Postman bahwa budaya kita sedang berserah diri pada teknologi informasi (technopoly).

Bagi pendidik (orang tua dan guru), persoalan tidak lagi terletak pada peranti gawainya. Melarang anak bergawai sama halnya menutup matanya melihat dunia. Membiarkannya secara bebas tanpa batasan menggunakan gawai juga menjerumuskan pada ketergantungan sekaligus alienasi. Keduanya sama bahayanya. Sebagaimana pesan yang dimuat, ga¬wai memberikan manfaat sangat luar biasa dalam menunjang pembelajaran yang cepat dan mengakselerasi dunia kreatif. Pada saat yang sama, bahaya yang tersimpan juga dahsyat sekali. Proliferasi pornografi, prostitusi online, cybersex, dan ketergantungan pada games mengonfirmasi akan mara bahaya yang siap memapar anak.

Karena itu, mengajari anak-anak berbijak dan melek media adalah jalan penyikapan yang baik. Pendidik ditantang bisa meng¬ajarkan pemaknaan pesan yang melimpahi anak tidak cukup hanya dengan memindahkan informasi dari kepala ke kepala. Mengajari anak memaknai limpahan informasi secara kritis lebih urgen. Kompetensi memaknai informasi diharapkan bisa menjadi modal metakognisi yang diperlukan Zetizen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Myelin

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan dari brain memory. Temuan-temuan terbaru dalam ilmu biologi menunjukkan ada memori lain yang tak kalah penting yaitu muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot kita. Komponen musle memory yang membangkitkan gerakan, dan tindakan disebut MYELIN. Brain memory terbentuk dari pengetahuan. Sementara muscle memory terbentuk karena latihan. Manusia yang hanya membangun pengetahuan melalui brain-nya akan menjadi manusia formula yang hanya melihat dari kaca mata brain memory-nya. Sedangkan manusia yang hanya melakukan latihan akan bergerak reflektif otomatis. Blog ini didedikasikan untuk kisah-kisah untuk melatih kemampuan myelin. Sehingga bisa menjadi manusia yang smart, kreatif, dan mempunyai skill untuk mewujudkannya.

"Esteem Economy", Ketika Setiap Orang Haus Pengakuan

Iseng-iseng saya bertanya pada ibu-ibu peserta seminar dan pelatihan “Marketing in Disruption” di Rumah Perubahan: “Pernah selfie dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?” “Sering” jawab mereka. Lalu apa yang dirasakan kalau sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”? Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri. Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau tidak, gelisah.” Begitulah Esteem Economy. Manusia gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak sodor. Ah benar-benar jadul. “Manusia baru” atau kids zaman now yang hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber. Seperti yang ditulis oleh pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, “ketika menapakkan kaki ke semak-semak belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: “Awas ular.”...

Mengapa Anak yang Pintar di Sekolah Bisa Alami Kesulitan Ekonomi?

Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya. Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu "ada main" dengan dosen-dosennya. "Karena mereka tak sepintar aku," ujarnya. Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit.  Mungkin inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan. Hadiah orangtua Psikolog Stanford University, Car...