Langsung ke konten utama

Pilkada Serentak: Perang Antargenerasi

SARLITO WIRAWAN SARWONO

Beberapa bulan sebelum pilkada serentak tahap pertama, 9 Desember 2015, masuk kiriman pesan melalui WhatsApp ke telepon seluler saya. Isinya: mengajak saya bergabung dalam "Teman Ahok" dan membantu mengumpulkan tanda tangan untuk pencalonan Basuki Tjahaja Purnama alias Basuki atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada Serentak 15 Februari 2017.

Fenomena "Teman Ahok" (TA) ini menarik. Kelompok ini tiba-tiba saja muncul dari perut bumi seperti zombie, atau datang dari planet lain seperti alien yang mau menyerbu dunia. Mereka terdiri atas anak-anak muda yang idealis, yang awalnya tidak saling kenal. Kemudian mereka saling sapa melalui media sosial, yang sering disebut medianya orang autis, lalu berseliweran di dunia maya dan tahu-tahu sudah "kopi darat": membentuk gerakan TA dan mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) untuk mendukung Basuki. Jadi bahan tertawaan Pada mulanya target mereka hanya untuk memenuhi persyaratan UU, yaitu cukup dukungan 500.000 KTP saja. Namun, gerakan ini makin lama makin dahsyat, dan hari ini sudah hampir mencapai 800.000. Target sejuta KTP tinggal menunggu waktu.

Masalahnya, gerakan TA ini membuat partai politik gerah, termasuk PDI-P sebagai parpol pemenang Pemilu 2014. Mereka merasa eksistensinya terancam sehingga TA perlu dilawan habis-habisan, bahkan dituding anti demokrasi. Padahal, calon perseorangan—sering dikelirukan sebagai calon "independen"—sebetulnya sah menurut UU. Basuki sendiri, yang semula tak menyangka bahwa TA akan sebegitu dahsyatnya, mau tak mau harus lebih mempercayakan keberhasilannya sebagai cagub kepada TA ketimbang kepada PDI-P yang terus-terusan melambankan diri untuk mengizinkan Djarot Saiful Hidayat—Wagub DKI saat ini—untuk menemani Basuki maju sebagai cawagub. Maka, pada saat perwakilan TA mengunjungi rumah Basuki untuk minta kepastian siapa yang akan jadi pasangannya, Basuki dengan cepat memutuskan Heru Budi Hartono sebagai mitranya. Heru adalah salah satu bawahannya, PNS biasa yang tidak terkenal. Jadi, ia bukan memilih Djarot yang juga bereputasi baik, tetapi belum mendapat izin dari PDI-P untuk maju sebagai cawagub.

Keputusan Basuki yang mendadak itu bagaikan jurus silat "ular naga mematok banteng", yang membuat sejumlah parpol kelabakan. Maka, keluarlah jurus-jurus balasan dari parpol. Sebutlah seperti tudingan "deparpolisasi" yang anti demokrasi; rencana memanggil Basuki (oleh DPR) untuk kasus RS Sumber Waras; pernyataan kalau calon "independen" ternyata tak seperti yang diharapkan lalu siapa yang tanggung jawab? Bahkan belakangan muncul upaya menjegal Basuki dengan usulan memperberat ambang batas dukungan bagi calon perseorangan dalam revisi UU pilkada. Semua itu justru hanya jadi bahan tertawaan karena terlalu banyak kandungan sesat pikir di dalamnya.

Namun, di balik adegan-adegan lucu yang sering tidak masuk akal dalam argumentasi pihak parpol melawan TA, menurut saya sedang terjadi fenomena luar biasa yang merupakan awal dari perubahan dahsyat yang akan terjadi di Indonesia, atau bahkan di seluruh dunia, yaitu "perang antargenerasi". Pihak parpol (bukan hanya PDI-P, tetapi juga parpol lain dan selebritas serta artis yang juga ingin jadi gubernur DKI dengan melawan Basuki dan TA) adalah representasi dari kelompok umur yang dalam istilah demografi disebut generasibaby-boomer, sedangkan TA dan tentunya Basuki sendiri adalah representasi dari generasi X dan generasi Y. Generasi baby-boomer adalah generasi yang lahir selama dan sesudah Perang Dunia II. Mereka adalah generasi yang bangkit dari kehancuran perang dan menginginkan negara yang aman, sejahtera, tata-tentrem, kerta raharja.Mereka mendambakan kemapanan, mencari pekerjaan yang bisa memberi jaminan sampai pensiun, para politisi pun mengharapkan gaji tetap dan besar dari pekerjaannya sebagai anggota parlemen atau sebagai menteri, perubahan harus bertahap.

Senioritas sangat dijunjung tinggi; tidak ada yunior yang bisa naik pangkat sebelum seniornya pensiun atau meninggal dunia. Mereka sulit menerima hal-hal baru, sangat mengandalkan hukum dan peraturan yang tidak berubah, dan seterusnya. Sisa masa lalu Satu ciri khas dari generasi ini: mereka gagap teknologi. Jangankan memainkangadget, memindahkan saluran TV dengan alat kontrol jarak jauh pun mereka lebih suka minta bantuan cucu. Karena itu, mereka lebih mengandalkan jaringan dunia nyata yang dasarnya sejak dulu adalah perkoncoan, kekeluargaan, dan primordialismeyang dipertahankan melalui tradisi dan penokohan orang-orang tertentu berdasarkan keturunan yang cenderung feodalistik. Generasi X dan Y adalah generasi anak-anak dan cucu-cucugenerasi baby-boomer. Di Indonesia, generasi X adalah mereka yang ketika lahir sudah ada TVRI siaran berwarna, dan generasi Y adalah yang lahir di era bukan hanya ada satu stasiun TV, tetapi belasan bahkan puluhan.

Teknologi informasi sudah sangat maju sehingga akses terhadap segala macam informasi bisa dijelajah, diunggah, dan diunduh dengan sangat cepat. Berita dan grafis beredar real time,dan dunia benar-benar bukan selebar daun kelor lagi (meminjam kalimat pepatah Melayu lama). Maka, watak generasi X dan Y tak sabaran. Mereka bukan hanya mendambakan perubahan, tetapi betul-betul ditabrak oleh perubahan yang sangat cepat sehingga kalau tidak ikut berubah mereka akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Generasi X dan Y sangat lentur, cepat menyesuaikan diri, anti kemapanan, siapa yang mau maju cepat akan berlari kencang, tidak peduli pada senioritas, kurang peduli pada sistem, prosedur dan birokrasi, berganti- ganti pekerjaan tidak masalah selama pendapatannya meningkat terus. Mereka tak lagipercaya pada satu sumber informasi karena bisa mengakses informasi dari 1001 sumber hanya dengan memencettombol-tombol telepon seluler dengan jari jempol. Jaringan mereka terbangun melalui dunia maya, yang lebih impersonal dan jauh dari primordialisme dan feodalisme. Kembali ke Pilgub DKI 2017, Basuki yang didukung TA menurut pendapat saya mewakili generasi X dan Y, sedangkan parpol mewakili generasi baby-boomer.

Penyanyi kondang dan politisi terkenal (yang pernah jadi menteri) yang juga ingin jadi gubernur DKI juga tergolong sebagai generasi baby-boomer (dari sudut pandang cara berpikir mereka), walaupun mungkin dari usia sudah lebih dekat ke generasi X. Mana di antara kedua generasi itu yang akan keluar sebagai pemenang? Untuk jangka pendek (2017) agak sulit menebaknya karena semua faktor pemenangan pemilu masih di tangan para penguasa sekarang yang rata-rata masih tergolong generasi baby- boomer,termasuk intrik-intrik dan tipu-tipu politik. Namun, peluang pihak TA yang akan tampil sebagai pemenang saya kira lumayan tinggi, apalagi untuk jangka panjang. Ini mengingat TA, terutama Basuki, adalah fenomena masa depan yang sudah hadir sekarang, sementara generasi baby-boomer sisa masa lalu yang kebetulan masih hadir sekarang

SARLITO W SARWONO, PSIKOLOG Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Perang Antargenerasi".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Myelin

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan dari brain memory. Temuan-temuan terbaru dalam ilmu biologi menunjukkan ada memori lain yang tak kalah penting yaitu muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot kita. Komponen musle memory yang membangkitkan gerakan, dan tindakan disebut MYELIN. Brain memory terbentuk dari pengetahuan. Sementara muscle memory terbentuk karena latihan. Manusia yang hanya membangun pengetahuan melalui brain-nya akan menjadi manusia formula yang hanya melihat dari kaca mata brain memory-nya. Sedangkan manusia yang hanya melakukan latihan akan bergerak reflektif otomatis. Blog ini didedikasikan untuk kisah-kisah untuk melatih kemampuan myelin. Sehingga bisa menjadi manusia yang smart, kreatif, dan mempunyai skill untuk mewujudkannya.

Generasi Milenial (2)-Budi Darma

SEMENTARA ITU, pengategorian usia juga mengalami perubahan. Dulu ada kategori children (anak-anak), teenagers (sekitar umur belasan sampai awal dua puluhan tahun), young adults (remaja), dan adults (dewasa). Karena anak-anak dan remaja setiap hari dihadapkan pada sajian untuk orang dewasa lewat gawai, istilah teenagers sekarang sudah tidak dipakai lagi. Sebab, pada dasarnya sekarang teenagers sudah tidak ada lagi. Teenagers dan young adults digabung menjadi satu, yaitu young adults. Generasi Y dan Z sekarang juga sudah bercampur baur. Dalam kategori usia, teenagers tersingkir. Dalam kategori generasi, generasi X juga tersingkir. Demonstrasi para pengemudi taksi dengan tujuan menghapus taksi daring (online) menyiratkan tanda bahwa generasi X sudah tersingkir, meskipun tentu saja bergantung orangnya. Sampai sekarang, misalnya, ada beberapa orang berusia lanjut yang mampu mengoperasikan gawai dengan baik. Generasi Y dan Z tidak mungkin lepas dari gawai. Juga, hampir selamanya

Pilkada Serentak: Generasi Milenial untuk Jakarta

ANGGORO GUNAWAN  Para peminat kursi gubernur DKI Jakarta sudah mulai mengasah senjata. Celotehannya sudah mulai riuh mengisi lini masa. Apa pun upaya mereka, sebaiknya mereka sadar satu hal istimewa: jangan lupakan para pemilih muda yang kini diisi oleh generasi milenial. Mereka inilah penentu kursi gubernur yang sesungguhnya. Generasi milenial(kelahiran 1980-an-1990-an) bertingkah laku berbeda. Mereka adalah generasi yang bertumbuh dengan keleluasaan informasi. Mereka sadar gaya hidup sekaligus lebih peduli sesama. Dalam Digital Culture and Religion in Asia, Sam Han dan Kamaludeen Mohamed Nasir menyebutkan bahwa generasi milenial—disebut juga generasi Y—ini lebih liberal dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka peduli dengan sesama. Inilah generasi yang bisa berpindah pekerjaan karena merasa tak sesuai dengan jiwanya. Kalau generasi X (kelahiran 1965-1989) dan baby boomers(kelahiran sesudah Perang Dunia II-1964) berprinsip setidaknya satu tahun tinggal dalam satu pekerjaan untuk m