Langsung ke konten utama

Dua Generasi di Dunia Pendidikan

Dua Generasi di Dunia Pendidikan Kita – Koran Sindo

24 March, 2016 , by Rumah Perubahan

Mungkin Anda sudah sering mendengar ucapan Marc Prensky, penulis buku Digital Game-Based Learning, bahwa kehadiran teknologi digital membuat dunia pendidikan terbelah dalam dua kelompok besar, digital immigrants dan digital natives.

Apa itu? 
Digital immigrants, sesuai istilahnya, adalah kaum pendatang di era digital. Mereka ini generasi yang lebih tua, lahir sebelum berkembangnya teknologi komputer, internet, apalagi smartphone. Kalau dalam dunia pendidikan, mereka inilah yang sekarang menjadi dosen atau guru. Sementara itu, digital natives adalah anak-anak muda yang lahir setelah era internet.

Sejak kecil sudah melek teknologi, seperti internet, komputer, ponsel atau smartphone, animasi, aplikasi dan berbagai produk digital lainnya. Kita sering menyebut mereka dengan istilah generasi Y dan millenials. Mereka inilah yang sekarang menjadi murid di sekolah-sekolah, atau mahasiswa di kampus-kampus.

Jejak Digital 
Kalau dari pendekatan teknologi, membedakan keduanya mudah sekali. Berikan pada kelompok digital natives ini smartphone. Sebentar saja, tanpa perlu diajari, mereka sudah tahu bagaimana cara mengoperasikannya tanpa perlu membaca buku manualnya. Mereka akan dengan cepat menemukan di mana games tersimpan. Sementara itu, kelompok digital immigrants lain lagi. Mereka setengah mati mencoba memahami cara memakai smartphone .

Mereka membaca buku manualnya, dan tak kunjung mengerti. Lalu, mulailah mereka ini merepotkan koleganya dengan sejumlah pertanyaan. Jika tak kunjung mengerti juga, mereka akan berteriak memanggil anaknya, bertanya ini itu, sehingga membuat anakanak sebal. ”Masak begitu saja nggak ngerti ,” gerutu sang anak. Beberapa di antara kelompok digital immigrants ini ada yang mencoba habis-habisan beradaptasi di lingkungan digital.

Namun, tetap saja mereka meninggalkan jejak di manamana yang bisa dengan mudah kita temukan. Contohnya, meski sudah mengirimkan email ke koleganya, kelompok digital immigrants ini selalu mengingatkan dengan menelepon, mengirim SMS atau WhatsApp, ”Sudah cek email yang saya kirim?” Kalau yang lebih parah, ia selalu mencetak email dari koleganya. Lalu membaca dan mengoreksinya di atas kertas. Baru setelah itu membalas email tersebut.

Belajar Mesti Menyenangkan 
Paparan teknologi digital membuat struktur otak anak-anak muda kita berubah. Anda tahu di dunia digital, informasi mengalir dari mana-mana dan melimpah ruah. Semuanya cukup dengan mengklik Google. Maka sejak kecil, otak anak-anak kita sudah terbiasa menerima input yang melimpah.
Di kampus, saya sering memberi mereka assignment dengan memberi kata kunci, lalu membiarkan mahasiswa berselancar dan memberikan interpretasi dari apa yang mereka temukan dalam hitungan menit, dan diperkaya rekan-rekan lainnya. Kuliah menjadi lebih hidup, lebih fun ketimbang dosen sendirian presentasi dan mereka menyimak.

Garry Small, seorang pakar saraf dari University of California, Los Angeles, menemukan, anak-anak yang otaknya banyak menerima input secara digital ini secara kognitif bisa menjadi superior. Maksudnya bisa lebih cepat menyerap informasi dan cepat pula mengambil keputusan. Itu karena mereka didukung oleh banyaknya informasi yang masuk dalam otak dan pandai mengklasifikasikannya.

Kondisi semacam ini membuat struktur otak mereka berubah menjadi multitasking . Mereka bisa belajar sambil menonton TV, mendengarkan musik, men-Tweet, chatting, atau berselancar di dunia maya. Itulah suasana belajar yang menyenangkan. Dan, bagi mereka, belajar mestinya menyenangkan. Apalagi sejak kecil, mereka sudah dibesarkan dengan cara belajar yang menyenangkan.

Mereka belajar sambil menonton acara TV, seperti Sesame Street, Teletubbies, atau Dora The Explorer. Kondisi semacam inilah yang kadang kurang dipahami oleh kalangan digital immigrants, para guru atau dosen. Mereka tidak percaya kalau anak-anak bisa belajar sambil nonton TV, mendengarkan musik atau chatting dengan smartphone. Bagi kelompok digital immigrants ini, belajar mestinya bukan seperti itu.

Belajar mesti fokus, serius dan sering kali mereka buat suasananya menjadi tidak menyenangkan. Anda familier bukan dengan istilah guru galak atau dosen killer. Mengapa mereka bisa begitu galak atau killer ? Para guru atau dosen, yang kebanyakan dari kelompok digital immigrants, itu rupanya ingin menerapkan metode belajar seperti yang dulu mereka alami.

Mereka marah- marah karena ketika tengah menjelaskan di depan kelas, mahasiswanya sibuk dengan gadget -nya atau online dengan laptop-nya. Oleh karena jengkel, dia pun membuat aturan: saat kuliah, tak boleh membuka gadget, tidak boleh online. Padahal di kampusnya tersedia akses Wifi. Akibatnya suasana belajar pun jadi berubah. Para siswa tersiksa.

Belajar pun menjadi tak menyenangkan lagi. Apalagi kerap bahasa guru-murid atau dosen-mahasiswa tidak nyambung. Guru atau dosen tidak tahu bahasa slang yang biasa dipakai oleh anak didiknya. Kondisi tidak nyambung semacam inilah yang membuat saya prihatin. Lalu, harus bagaimana dong? Menurut saya, kita tak bisa lagi memaksa anakanak kita belajar dengan cara lama.

Kasihan mereka. Apalagi struktur otaknya juga sudah berubah. Maka, para digital immigrants itulah yang harus menyesuaikan diri dengan cara belajar mereka. Jangan dibalik! Ayo berubah. Tak sulit kok!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Myelin

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan dari brain memory. Temuan-temuan terbaru dalam ilmu biologi menunjukkan ada memori lain yang tak kalah penting yaitu muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot kita. Komponen musle memory yang membangkitkan gerakan, dan tindakan disebut MYELIN. Brain memory terbentuk dari pengetahuan. Sementara muscle memory terbentuk karena latihan. Manusia yang hanya membangun pengetahuan melalui brain-nya akan menjadi manusia formula yang hanya melihat dari kaca mata brain memory-nya. Sedangkan manusia yang hanya melakukan latihan akan bergerak reflektif otomatis. Blog ini didedikasikan untuk kisah-kisah untuk melatih kemampuan myelin. Sehingga bisa menjadi manusia yang smart, kreatif, dan mempunyai skill untuk mewujudkannya.

"Esteem Economy", Ketika Setiap Orang Haus Pengakuan

Iseng-iseng saya bertanya pada ibu-ibu peserta seminar dan pelatihan “Marketing in Disruption” di Rumah Perubahan: “Pernah selfie dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?” “Sering” jawab mereka. Lalu apa yang dirasakan kalau sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”? Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri. Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau tidak, gelisah.” Begitulah Esteem Economy. Manusia gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak sodor. Ah benar-benar jadul. “Manusia baru” atau kids zaman now yang hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber. Seperti yang ditulis oleh pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, “ketika menapakkan kaki ke semak-semak belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: “Awas ular.”...

Generasi Z

Pedagogi Zetizen Fathurrofiq  ;  Mengajar bahasa di Al Hikmah Surabaya; Sedang menyusun kurikulum Filsafat Bahasa untuk rintisan Sekolah Tinggi Ilmu Alquran dan Sains (STIQSI) Al Ishlah Sendang, Paciran, Lamongan (JAWA POS, 16 Maret 2016) ISU generasi Zetizen telah digemakan oleh Jawa Pos. Rahma Sugihartati (Jawa Pos, 11/03/2016) dari Unair memberikan opini yang menyasarkan kritik pada dunia pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah. Terutama di sekolah yang masih gagap memberikan respons pedagogis pada fenomena munculnya generasi ini. Pada aras inilah peran pendidik sebagai agen kurikulum dalam pendidikan perlu diredefinisi. Gawai, Dunia Baru Begitu anak dibelikan gawai (gadget), ia akan memasuki dunianya dengan sangat khusyuk. Dunia yang tergenggam di ponsel cerdasnya itulah yang membuatnya sangat cepat berkomunikasi dengan sejuta orang yang nun jauh darinya.' Namun, pada saat yang sama, dunia yang dapat ia lipat dengan cepat dan tipis di tangannya itu juga m...