Era demokrasi Indonesia saat ini tak lepas dari peran media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Path, dan Instagram. Beragam isu menjadi terdengar dan akhirnya menjadi agenda penting di masyarakat karena disuarakan melalui media sosial dan didengungkan oleh media massa.
Beberapa kali pula isu nasional di Indonesia menjadi tren global dunia karena masifnya sebuah isu dipantulkan dari satu akun ke akun yang lain. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga berutang besar kepada netizen atas jasa memopulerkan dirinya di media sosial.
Kita tentu masih ingat betapa pada hari-hari pilpres lalu, menulis sebuah status dukungan di media sosial untuk salah satu calon bukanlah hal mudah. Bahkan, hingga hari ini, sebuah status Facebook atau tweet yang berbau politik masih cukup sensitif dan dapat memancing berbagai bantahan dan komentar. Inilah era demokrasi di mana propagandis lebih mudah menyebarkan kebencian. Media sosial membuka ruang lebih luas untuk menyetir isu dan opini di masyarakat dan memantau perkembangannya dengan lebih terukur.
Pada dasarnya, propagandis ada di hampir seluruh masyarakat, bekerja dalam diam. Tujuan mereka, mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat, sekaligus membuat pihak lawan mereka dibenci. Propagandis hadir tak hanya di masa pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah, mereka juga bekerja pada isu-isu sosial di masa damai. Tanpa disadari kita sering terjebak untuk sukarela membantu mereka, mulai dari sekadar memberi jempol di Facebook hingga ikut menyebarkan pesan propaganda kepada jejaring sosial kita.
Beberapa waktu lalu, misalnya, foto Presiden Jokowi di Raja Ampat, Papua, dituding palsu oleh salah seorang pengguna media sosial. Teman dan pengikut akun itu pun ramai-ramai memantulkan tudingan dan pesan yang sama, tanpa lebih dulu mencari tahu kebenarannya. Menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, saat ini di media sosial mulai bermunculan rekayasa foto ataupun informasi yang tidak jelas kebenaran dan sumbernya. Tanpa disadari, banyak pengguna media sosial yang dengan sukarela terseret ke dalam pusaran arus propaganda 2.0.
Pada masa Perang Dunia II, Pemerintah AS mendirikan the Institute of Propaganda Analysis yang bertugas mendidik warganya mengenai propaganda. Institut ini mengeluarkan tujuh teknik yang biasa digunakan dalam propaganda. Hampir 80 tahun berlalu sejak institut tersebut akhirnya dibubarkan, tetapi ketujuh tekniknya masih kita jumpai hingga saat ini, meski dengan keberadaan media baru, teknik tersebut sudah termodifikasi.
Propaganda adalah strategi dan teknik persuasi untuk mengubah opini, perilaku, dan sikap masyarakat dengan menggunakan kebohongan, tipu muslihat, dan kebencian. Sejarah membuktikan bahwa propaganda adalah senjata yang paling ampuh untuk memenangi perang (Harold Lasswell, 1972) dan opini publik di era modern. Ketujuh teknik propaganda adalah: name calling, glittering generality, transfer device, testimonials, plain folks, card stacking, dan band wagon.
Name calling adalah teknik memberikan julukan buruk untuk sebuah ide, organisasi, ataupun seseorang yang menjadi pihak lawan untuk membuat publik kemudian membencinya.Glittering generality adalah teknik penggunaan kata-kata indah dan mengesankan, untuk menunjukkan kehebatan dan kebajikan sebuah pihak, organisasi, ataupun ide, untuk mendapatkan dukungan dan penerimaan publik.
Transfer device digunakan saat menghubungkan aksi propagandis dengan tujuan mulia yang lebih besar, misalnya untuk demokrasi, nasionalisme, dan kesejahteraan bangsa. Tekniktestimonial menggunakan suara orang penting dan terkenal untuk memberikan kesan dan dukungan kepada ide propagandis.
Plain folks adalah teknik di mana propagandis membenarkan ide dan aksinya atas dasar untuk kepentingan orang banyak. Teknik card stacking menggunakan sebagian dari fakta yang ada kemudian dipelintir agar meyakinkan masyarakat. Terakhir, band wagon adalah teknik agar masyarakat mendukung ide dan bergabung dalam aksi mereka.
Propaganda di media sosial
Pada media sosial hari ini, ketujuh teknik tersebut dapat dijumpai mulai dari kampanye politik, kampanye pemasaran dan brand, hingga kampanye sosial dan kesehatan. Teknik name calling danglittering generality tidak banyak berubah. Cukup mengejutkan bahkan karena julukan buruk untuk pihak lawan yang banyak digunakan di era Perang Dunia II,seperti 'Yahudi', 'Komunis' , 'Liberal', 'Ateis', dan 'Radikal', ternyata masih muncul dalam propaganda di media baru.
Teknik glittering generality muncul dengan penggunaan tujuan mulia demi 'Demokrasi', Patriotisme', 'Kesehatan', dan 'Cinta'. Teknik transfer device juga masih terdapat dan dipermudah dengan keberadaan media sosial seperti Facebook. Seorang propagandis, misalnya, membuat akun khusus di Facebook dan mengajak massa bergabung untuk aksi tertentu digroup/fanpage atau menulis pesan dan menyebarkan pesan. Propagandis biasanya menyebarkan pesan untuk melegitimasi tujuan mereka sebagai bagian dari aksi masyarakat, organisasi, atau bahkan misi kebangsaan.
Teknik testimonial kini tak lagi mengandalkan otoritas atau orang terkenal. Di media sosial, testimonialdapat diberikan oleh siapa saja dalam jaringan kita, bisa jadi keluarga, teman, kolega, atau orang yang baru saja kita kenal. Persuasi dengan tekniktestimonials di media sosial lebih sulit untuk dihindari dan ditolak karena disebarkan oleh teman dekat atau keluarga, yang jika kita konfrontasi dapat berpotensi merusak hubungan personal yang sudah ada. Modifikasi teknik plain folks dilakukan dengan menggunakan akun dan followers palsu untuk menciptakan dan menyebarkan pesan sehingga terlihat populer, menjadi viral, atau bahkan trending topic.James Webster (2014) dalam bukunya, The Marketplace of Attention, mengatakan, atensi di media baru diciptakan oleh pesan itu sendiri dan oleh struktur.
Para akun dan followers palsu dibuat untuk menciptakan struktur yang nantinya akan diklaim oleh propagandis sebagai "dukungan publik". Pada kampanye pilpres dan juga pilkada yang lalu, para kandidat yang bertarung menggunakan "pasukan media sosial" untuk menciptakan trending topic di Twitter. Sering kali, isu yang menjadi tren tidak jelas, tetapi mendapatkan perhatian besar dari masyarakat semata-mata hanya karena sedang "tren". Kemudian para politisi akan mengklaim bahwa mereka mendapatkan dukungan publik dengan mengacu ke media sosial.
Selanjutnya, teknik card stacking yang merupakan teknik yang paling banyak digunakan di media sosial. Internet menyediakan sumber informasi yang tak terbatas, beragam, dan gratis, meski tidak semuanya benar atau sudah dipelintir. Bagi kebanyakan orang, media sosial adalah tempat di mana mereka ikut menyebarkan pesan tanpa mengecek kebenarannya lebih dulu. Banyak yang ikut menyebarkan tautan, gambar, video, dan berita, bahkan tanpa membaca atau menontonnya lebih dulu.
Modifikasi lain dari teknik ini adalah menggunakan data statistik atau angka yang menyesatkan. Angka-angka atau data statistik sering kali disingkat dan dibuat grafis yang menarik, tanpa ada penjelasan mengenai metode riset ataupolling dan validitasnya. Teknik band wagon modifikasi dengan penggunaan akun palsu untuk menciptakan viral. Selain itu, persuasi untuk bergabung dengan massa dinyatakan dengan pesan ajakan memberi jempol dan memantulkannya di jaringan pribadi. Kata-kata seperti like, pesan ini jika Anda peduli atau "bagikan ini dan lihatlah keajaiban dari Tuhan dalam hidupmu setelah membagi informasi ini" biasanya dijumpai pada teknik band wagon.
Pada akhirnya, ketujuh teknik propaganda di era Perang Dunia II masih terdapat di media sosial saat ini. Selain ketujuh teknik tadi, karakteristik media sosial— seperti interaktivitas, multimedia, dan keterhubungan—membuat propaganda saat ini berbeda dengan propaganda era Perang Dunia II yang mengandalkan media massa.
Jaringan di media sosial dapat meningkatkan jumlah media untuk menyebarkan pesan dengan biaya lebih murah. Interaktivitas melalui menu komentar memberikan ruang lebih luas bagi propaganda. Jangan lupa, pesan bukan semata status atau tweet yang seseorang tulis, tetapi diskusi di menu komen juga menjadi bagian dari sebuah pesan.
Karakter multimedia memberikan ruang lebih bagi visual dan lebih sedikit untuk pesan tertulis, yang nantinya membuka ruang untuk pengaburan fakta dan pesan, sehingga lebih mudah menciptakan dan menyebarkan kebencian pada pihak lawan. Media sosial dengan ruang lebih sempit, seperti Twitter, berpotensi digunakan untuk mengirim pesan yang singkat, kuat, berwarna, dan mengesankan untuk mendapatkan atensi penggunanya.
Meski kehadiran propagandis tak mudah dideteksi dan selalu ada, kita masih bisa menghindari untuk tak terjebak di dalam propaganda mereka. Caranya adalah dengan tidak mudah menghakimi dan memberi label pada sebuah ide, seseorang, atau organisasi. Jadilah orang yang awas dengan prasangka diri sendiri.
Jangan mudah memberi penilaian terhadap sesuatu hingga kita mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan dapat menganalisisnya dengan lebih baik. Berpikirlah dua, tiga, empat, lima kali sebelum menyebarkan sebuah pesan di media sosial.
IKA KARLINA IDRIS, DOSEN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PARAMADINA; MAHASISWA PROGRAM DOKTOR OHIO UNIVERSITY
Komentar
Posting Komentar