Langsung ke konten utama

Mengapa Anak yang Pintar di Sekolah Bisa Alami Kesulitan Ekonomi?

Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya.

Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu "ada main" dengan dosen-dosennya. "Karena mereka tak sepintar aku," ujarnya.

Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit. 

Mungkin inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.

Hadiah orangtua

Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, "Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan".

Ya, tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan "membuka pintu", jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya.

Kesulitan belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya.

Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka.

Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah.

Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: "Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?"


Advertisment
Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.

Saya teringat masa-masa muda dan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk "bengal". Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilang saya bandel. Namun, otak saya bilang "selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan".

Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak. Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya. Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar.

Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apa pun yang kita inginkan selalu bisa diberikan.

Panggung orang dewasa

Dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif. Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMU.

Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui. Fakta-fakta akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu: hidup seperti ini sungguh menantang.

Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para pemenang itu "bodoh", tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya. Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti, hanya akan menunjukkan ketidakberdayaan belaka.  Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya.

Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di belakang panggung, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.

Di Universitas Indonesia, saya membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar berani menghadapi tantangan dengan cara satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang.

Namun lagi-lagi orangtua sering mengintervensi mereka dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tur, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan: bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri.

Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21: bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tertutup.


Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi kesulitan. Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja: orangtua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Myelin

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan dari brain memory. Temuan-temuan terbaru dalam ilmu biologi menunjukkan ada memori lain yang tak kalah penting yaitu muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot kita. Komponen musle memory yang membangkitkan gerakan, dan tindakan disebut MYELIN. Brain memory terbentuk dari pengetahuan. Sementara muscle memory terbentuk karena latihan. Manusia yang hanya membangun pengetahuan melalui brain-nya akan menjadi manusia formula yang hanya melihat dari kaca mata brain memory-nya. Sedangkan manusia yang hanya melakukan latihan akan bergerak reflektif otomatis. Blog ini didedikasikan untuk kisah-kisah untuk melatih kemampuan myelin. Sehingga bisa menjadi manusia yang smart, kreatif, dan mempunyai skill untuk mewujudkannya.

Generasi Milenial (2)-Budi Darma

SEMENTARA ITU, pengategorian usia juga mengalami perubahan. Dulu ada kategori children (anak-anak), teenagers (sekitar umur belasan sampai awal dua puluhan tahun), young adults (remaja), dan adults (dewasa). Karena anak-anak dan remaja setiap hari dihadapkan pada sajian untuk orang dewasa lewat gawai, istilah teenagers sekarang sudah tidak dipakai lagi. Sebab, pada dasarnya sekarang teenagers sudah tidak ada lagi. Teenagers dan young adults digabung menjadi satu, yaitu young adults. Generasi Y dan Z sekarang juga sudah bercampur baur. Dalam kategori usia, teenagers tersingkir. Dalam kategori generasi, generasi X juga tersingkir. Demonstrasi para pengemudi taksi dengan tujuan menghapus taksi daring (online) menyiratkan tanda bahwa generasi X sudah tersingkir, meskipun tentu saja bergantung orangnya. Sampai sekarang, misalnya, ada beberapa orang berusia lanjut yang mampu mengoperasikan gawai dengan baik. Generasi Y dan Z tidak mungkin lepas dari gawai. Juga, hampir selamanya

Pilkada Serentak: Generasi Milenial untuk Jakarta

ANGGORO GUNAWAN  Para peminat kursi gubernur DKI Jakarta sudah mulai mengasah senjata. Celotehannya sudah mulai riuh mengisi lini masa. Apa pun upaya mereka, sebaiknya mereka sadar satu hal istimewa: jangan lupakan para pemilih muda yang kini diisi oleh generasi milenial. Mereka inilah penentu kursi gubernur yang sesungguhnya. Generasi milenial(kelahiran 1980-an-1990-an) bertingkah laku berbeda. Mereka adalah generasi yang bertumbuh dengan keleluasaan informasi. Mereka sadar gaya hidup sekaligus lebih peduli sesama. Dalam Digital Culture and Religion in Asia, Sam Han dan Kamaludeen Mohamed Nasir menyebutkan bahwa generasi milenial—disebut juga generasi Y—ini lebih liberal dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka peduli dengan sesama. Inilah generasi yang bisa berpindah pekerjaan karena merasa tak sesuai dengan jiwanya. Kalau generasi X (kelahiran 1965-1989) dan baby boomers(kelahiran sesudah Perang Dunia II-1964) berprinsip setidaknya satu tahun tinggal dalam satu pekerjaan untuk m