Iseng-iseng saya bertanya pada ibu-ibu peserta seminar dan pelatihan “Marketing in Disruption” di Rumah Perubahan: “Pernah selfie dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?”
“Sering” jawab mereka.
Lalu apa yang dirasakan kalau sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”?
Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri.
Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau tidak, gelisah.”
Begitulah Esteem Economy. Manusia gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak sodor. Ah benar-benar jadul. “Manusia baru” atau kids zaman now yang hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber.
Seperti yang ditulis oleh pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, “ketika menapakkan kaki ke semak-semak belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: “Awas ular.” Tetapi di dunia cyber, kita belum punya intuisinya.
Manusia cyber mempunyai cara sendiri dalam memenuhi rasa aman (safety needs) dan self esteem yang kita pelajari sebagai Maslow Hierarchy of Needs. Dan foto-foto diri, komplain-komplain kecil, share tentang sesuatu adalah objeknya.
Leisure Tanpa Tekanan, Esteem Sebaliknya
Benarkah manusia mencari “leisure” dengan berekreasi? Sepertinya, leisure yang kita kenal di abad 21 benar-benar berbeda. Leisure yang dulu, digambarkan sebagai “menikmati waktu hidup dan berekreasi“ kini berubah.
Para pekerja di Prancis dan Italia di akhir abad 20 menikmati leisure economy. Pukul 15.30 mereka sudah kongkow-kongkow menikmati happy hour di bar. Maka, begitu pemerintah berencana menambah 30 menit saja waktu kerja per hari, mereka pun melawan dengan demo besar dan sedikit kerusuhan.
Saya pun jadi ragu kalau akhir pekan ratusan ribu mobil bergerak dari Jakarta ke arah Bandung untuk leisure. Macetnya bisa 4-6 jam. Di Yogyakarta, mobil-mobil yang bergerak mencari rumah makan termasuk ke Mie Jawa yang terletak di “kandang sapine mbah Gito” sepertinya juga bukan untuk leisure.
Butuh satu-dua jam karena macet. Antre makannya satu-dua jam lagi. Di kaleng-kaleng kerupuknya tertulis kata ini: “sabar.”
Abad 19 kita mengenal leisure class (Veblen, 1899), lalu di abad 20 menjadi experience economy (Joseph Pine & Gilmore, 1998). Tetapi kini disebut esteem economy, kumpulan dari manusia-manusia yang rindu pengakuan bahwa dia sudah sampai di sana.
Skylodge di Tebing Parang atau Selfie di Ponggok
Di usia 20-an, saya gemar mendaki gunung. Maka berita tentang hotel gantung di Tebing Parang sungguh menggoda. Namun begitu melihat cara menjangkaunya, saya harus tahu diri.
Berita dan foto-foto tentang hotel gantung ini menjadi viral di jagat dunia maya. Persis seperti foto-foto tentang padang bunga di Gunung Kidul yang pernah viral.
Tiap generasi punya needs yang berbeda. Generasi saya butuh “leisure,” sedangkan millennials butuh esteem. Mereka mencari share, “like” atau jempol karena difasilitasi medsos.
Ini persis dengan yang dilakukan sebuah rumah makan tak jauh dari Rumah Perubahan.
Makanannya biasa saja. Tetapi, tak henti-hentinya ibu-ibu muda berdatangan. Rupanya di situ ada foto bangunan besar 3 dimensi. Mereka bisa bergaya melayang seakan-akan tengah berada di atas gedung. Jadilah itu tempat selfie.
Ini cerita lain lagi. Di sebuah meja kerja di suatu kantor duduk seorang pegawai perempuan. Wajahnya bete sekali. Seharian tak mendapatkan “like” atau share dari foto-foto yang diunggahnya. Ia pun merapihkan meja dan menambah secangkir kopi panas yang asapnya mengepul. Lalu foto diunggah di Facebook dengan caption: Good Morning ….kerja semangat!
Wajahnya berubah sumringah ketika satu-persatu likes berdatangan. Temannya di seberang sana memberi “likes,” padahal mereka tengah duduk berempat di meja makan sebuah restoran mahal.
Namun keempatnya juga tengah mencari esteem dengan membuka gadget mereka masing-masing. Pelayan restoran datang menanyakan pesanan. Mereka lalu bersama-sama mengucapkan kalimat ini, “foto dulu ya!”
Pelayanpun mengambil ponsel mereka. Semua minta foto pakai ponsel masing-masing. Jadi fotonya empat kali. Selesai difoto, mereka pesan makanan, lalu kembali membuka gadget, upload, mencari esteem lagi.
Di desa Ponggok, Klaten, ada proyek dana desa yang berhasil, berupa desa wisata. Sebuah embung besar mereka bersihkan menjadi umbul untuk selfie di dalam air.
Pengunjung pun berebut datang melakukan selfie di atas sepeda motor, bermain ayunan, pura-pura tengah bekerja atau berkemah di dalam air. Alhasil, dari dana desa Rp 300 juta (2015), BUMDES desa berpenduduk 2.300 jiwa ini tahun ini akan meraih pendapatan Rp 15 miliar.
Untuk apa bersusah payah menahan napas di dalam air? Anda tahu jawabannya.
Esteem Economy
Mendalami motif manusia memenuhi kebutuhannya penting untuk memahami proses shifting perekonomian. Dunia benar-benar disruptif. Motif memenuhi kebutuhan itu bergeser di peradaban cyber. Manusia beradaptasi, bertahan dan berevolusi dengan motif pemenuhan kebutuhan tadi.
Ditenggarai oleh kemampuan bersembunyi (anonymity), dunia online seakan mampu memberikan rasa aman (safety needs) bagi sebagian orang yang pemalu dan takut-takut dalam interaksi tatap muka. Manusia bisa “mengambil foto” milik orang lain, mencuri atau mengedit jati dirinya.
Orang-orang yang memiliki “kelainan” di dunia riil, atau yang gemar menyebar fitnah ternyata sosoknya tak semenakutkan tulisannya. Bahkan belum lama ini Ditreskrim Polri mengumumkan sebagian besar adalah penakut yang jarang bergaul. Tetapi di dunia cyber, dengan anonymitas itu bisa membuat mereka merasa nyaman dan berani berkomunikasi.
Tetapi baiklah kita kembali ke esteem economy. Dengan bergabung dalam komunitas online, kini manusia bisa merasakan ”a sense of belonging.” Kata Aiken, “mendapatkan ‘liked’di Facebook adalah wujud dari memenuhi needs for esteem.
Bukan hanya itu. Mereka juga bawel cari perhatian terhadap soal-soal kecil. Mulai dari soal toilet, sampai taksi yang tak datang-datang saat hujan deras, pun dijadikan tulisan pendek, sekedar komplain untuk mendapatkan esteem.
Dengan menyebarkan berita buruk atau copas-copas tanpa memeriksa kebenarannya, manusia yang belum matang juga ingin mendapatkan pengakuan bahwa ia lebih pandai atau tahu lebih dulu dari yang lain.
Pusingkan? Begitulah esteem economy. Manusia selalu mencari cara untuk mendapatkan pengakuan berupa share, like dan jempol. Bukan es krim.
Referensi : Rhenald Kasali
“Sering” jawab mereka.
Lalu apa yang dirasakan kalau sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”?
Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri.
Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau tidak, gelisah.”
Begitulah Esteem Economy. Manusia gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak sodor. Ah benar-benar jadul. “Manusia baru” atau kids zaman now yang hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber.
Seperti yang ditulis oleh pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, “ketika menapakkan kaki ke semak-semak belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: “Awas ular.” Tetapi di dunia cyber, kita belum punya intuisinya.
Manusia cyber mempunyai cara sendiri dalam memenuhi rasa aman (safety needs) dan self esteem yang kita pelajari sebagai Maslow Hierarchy of Needs. Dan foto-foto diri, komplain-komplain kecil, share tentang sesuatu adalah objeknya.
Leisure Tanpa Tekanan, Esteem Sebaliknya
Benarkah manusia mencari “leisure” dengan berekreasi? Sepertinya, leisure yang kita kenal di abad 21 benar-benar berbeda. Leisure yang dulu, digambarkan sebagai “menikmati waktu hidup dan berekreasi“ kini berubah.
Para pekerja di Prancis dan Italia di akhir abad 20 menikmati leisure economy. Pukul 15.30 mereka sudah kongkow-kongkow menikmati happy hour di bar. Maka, begitu pemerintah berencana menambah 30 menit saja waktu kerja per hari, mereka pun melawan dengan demo besar dan sedikit kerusuhan.
Saya pun jadi ragu kalau akhir pekan ratusan ribu mobil bergerak dari Jakarta ke arah Bandung untuk leisure. Macetnya bisa 4-6 jam. Di Yogyakarta, mobil-mobil yang bergerak mencari rumah makan termasuk ke Mie Jawa yang terletak di “kandang sapine mbah Gito” sepertinya juga bukan untuk leisure.
Butuh satu-dua jam karena macet. Antre makannya satu-dua jam lagi. Di kaleng-kaleng kerupuknya tertulis kata ini: “sabar.”
Abad 19 kita mengenal leisure class (Veblen, 1899), lalu di abad 20 menjadi experience economy (Joseph Pine & Gilmore, 1998). Tetapi kini disebut esteem economy, kumpulan dari manusia-manusia yang rindu pengakuan bahwa dia sudah sampai di sana.
Skylodge di Tebing Parang atau Selfie di Ponggok
Di usia 20-an, saya gemar mendaki gunung. Maka berita tentang hotel gantung di Tebing Parang sungguh menggoda. Namun begitu melihat cara menjangkaunya, saya harus tahu diri.
Berita dan foto-foto tentang hotel gantung ini menjadi viral di jagat dunia maya. Persis seperti foto-foto tentang padang bunga di Gunung Kidul yang pernah viral.
Tiap generasi punya needs yang berbeda. Generasi saya butuh “leisure,” sedangkan millennials butuh esteem. Mereka mencari share, “like” atau jempol karena difasilitasi medsos.
Ini persis dengan yang dilakukan sebuah rumah makan tak jauh dari Rumah Perubahan.
Makanannya biasa saja. Tetapi, tak henti-hentinya ibu-ibu muda berdatangan. Rupanya di situ ada foto bangunan besar 3 dimensi. Mereka bisa bergaya melayang seakan-akan tengah berada di atas gedung. Jadilah itu tempat selfie.
Ini cerita lain lagi. Di sebuah meja kerja di suatu kantor duduk seorang pegawai perempuan. Wajahnya bete sekali. Seharian tak mendapatkan “like” atau share dari foto-foto yang diunggahnya. Ia pun merapihkan meja dan menambah secangkir kopi panas yang asapnya mengepul. Lalu foto diunggah di Facebook dengan caption: Good Morning ….kerja semangat!
Wajahnya berubah sumringah ketika satu-persatu likes berdatangan. Temannya di seberang sana memberi “likes,” padahal mereka tengah duduk berempat di meja makan sebuah restoran mahal.
Namun keempatnya juga tengah mencari esteem dengan membuka gadget mereka masing-masing. Pelayan restoran datang menanyakan pesanan. Mereka lalu bersama-sama mengucapkan kalimat ini, “foto dulu ya!”
Pelayanpun mengambil ponsel mereka. Semua minta foto pakai ponsel masing-masing. Jadi fotonya empat kali. Selesai difoto, mereka pesan makanan, lalu kembali membuka gadget, upload, mencari esteem lagi.
Di desa Ponggok, Klaten, ada proyek dana desa yang berhasil, berupa desa wisata. Sebuah embung besar mereka bersihkan menjadi umbul untuk selfie di dalam air.
Pengunjung pun berebut datang melakukan selfie di atas sepeda motor, bermain ayunan, pura-pura tengah bekerja atau berkemah di dalam air. Alhasil, dari dana desa Rp 300 juta (2015), BUMDES desa berpenduduk 2.300 jiwa ini tahun ini akan meraih pendapatan Rp 15 miliar.
Untuk apa bersusah payah menahan napas di dalam air? Anda tahu jawabannya.
Esteem Economy
Mendalami motif manusia memenuhi kebutuhannya penting untuk memahami proses shifting perekonomian. Dunia benar-benar disruptif. Motif memenuhi kebutuhan itu bergeser di peradaban cyber. Manusia beradaptasi, bertahan dan berevolusi dengan motif pemenuhan kebutuhan tadi.
Ditenggarai oleh kemampuan bersembunyi (anonymity), dunia online seakan mampu memberikan rasa aman (safety needs) bagi sebagian orang yang pemalu dan takut-takut dalam interaksi tatap muka. Manusia bisa “mengambil foto” milik orang lain, mencuri atau mengedit jati dirinya.
Orang-orang yang memiliki “kelainan” di dunia riil, atau yang gemar menyebar fitnah ternyata sosoknya tak semenakutkan tulisannya. Bahkan belum lama ini Ditreskrim Polri mengumumkan sebagian besar adalah penakut yang jarang bergaul. Tetapi di dunia cyber, dengan anonymitas itu bisa membuat mereka merasa nyaman dan berani berkomunikasi.
Tetapi baiklah kita kembali ke esteem economy. Dengan bergabung dalam komunitas online, kini manusia bisa merasakan ”a sense of belonging.” Kata Aiken, “mendapatkan ‘liked’di Facebook adalah wujud dari memenuhi needs for esteem.
Bukan hanya itu. Mereka juga bawel cari perhatian terhadap soal-soal kecil. Mulai dari soal toilet, sampai taksi yang tak datang-datang saat hujan deras, pun dijadikan tulisan pendek, sekedar komplain untuk mendapatkan esteem.
Dengan menyebarkan berita buruk atau copas-copas tanpa memeriksa kebenarannya, manusia yang belum matang juga ingin mendapatkan pengakuan bahwa ia lebih pandai atau tahu lebih dulu dari yang lain.
Pusingkan? Begitulah esteem economy. Manusia selalu mencari cara untuk mendapatkan pengakuan berupa share, like dan jempol. Bukan es krim.
Referensi : Rhenald Kasali
Komentar
Posting Komentar