Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2016

Pilkada Serentak: Generasi Milenial untuk Jakarta

ANGGORO GUNAWAN  Para peminat kursi gubernur DKI Jakarta sudah mulai mengasah senjata. Celotehannya sudah mulai riuh mengisi lini masa. Apa pun upaya mereka, sebaiknya mereka sadar satu hal istimewa: jangan lupakan para pemilih muda yang kini diisi oleh generasi milenial. Mereka inilah penentu kursi gubernur yang sesungguhnya. Generasi milenial(kelahiran 1980-an-1990-an) bertingkah laku berbeda. Mereka adalah generasi yang bertumbuh dengan keleluasaan informasi. Mereka sadar gaya hidup sekaligus lebih peduli sesama. Dalam Digital Culture and Religion in Asia, Sam Han dan Kamaludeen Mohamed Nasir menyebutkan bahwa generasi milenial—disebut juga generasi Y—ini lebih liberal dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka peduli dengan sesama. Inilah generasi yang bisa berpindah pekerjaan karena merasa tak sesuai dengan jiwanya. Kalau generasi X (kelahiran 1965-1989) dan baby boomers(kelahiran sesudah Perang Dunia II-1964) berprinsip setidaknya satu tahun tinggal dalam satu pekerjaan untuk m

Pilkada Serentak: Perang Antargenerasi

SARLITO WIRAWAN SARWONO Beberapa bulan sebelum pilkada serentak tahap pertama, 9 Desember 2015, masuk kiriman pesan melalui WhatsApp ke telepon seluler saya. Isinya: mengajak saya bergabung dalam "Teman Ahok" dan membantu mengumpulkan tanda tangan untuk pencalonan Basuki Tjahaja Purnama alias Basuki atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada Serentak 15 Februari 2017. Fenomena "Teman Ahok" (TA) ini menarik. Kelompok ini tiba-tiba saja muncul dari perut bumi seperti zombie, atau datang dari planet lain seperti alien yang mau menyerbu dunia. Mereka terdiri atas anak-anak muda yang idealis, yang awalnya tidak saling kenal. Kemudian mereka saling sapa melalui media sosial, yang sering disebut medianya orang autis, lalu berseliweran di dunia maya dan tahu-tahu sudah "kopi darat": membentuk gerakan TA dan mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) untuk mendukung Basuki. Jadi bahan tertawaan Pada mulanya target mereka hanya untuk memenuhi persyaratan

Manusia Rigid akan Sulit Sendiri

Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas KOMPAS.com — Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia duduk di sebelah saya. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karier dan perusahaannya. Gerak keduanya (karier dan perusahaannya) begitu lincah, tidak seperti kita, yang masih rigid, terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwell time tidak konsisten. Ini sama seperti karier sebagian dari kita, terkunci di tempat. Akhirnya, kita hanya bisa mengeluh. Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumnus Fulbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarier di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu, ia menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia. Perusahaannya baru saja mengambil alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun

Sudden Shift, Perubahan Abad Ke-21

Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. KOMPAS.com — Lima tahun yang lalu, mantan Dirut Pertamina, Ari Soemarno, pernah menyampaikan sepotong data kepada saya. Itu tentang shale gas, yang kalau sampai kongres Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk dieksplor dan diekspor, maka harga gas dunia akan turun. Data itu rupanya segera direspons oleh para pemain saham yang mengakibatkan harga-harga saham perusahaan tambang batubara kita anjlok. Mengapa demikian? Inilah gejala perubahan mendasar yang disebut 3S: sudden shift, speed, dan surprise!" Sudden shift Daripada mereka-reka kapan dollar AS akan kembali turun, atau tenggelam dalam rasa takut yang besar bahwa PHK besar-besaran akan terjadi, lebih baik kita paham apa yang tengah terjadi, mengapa, dan bagaimana meresponsnya. Gejala ini kita sebut sudden shift (tiba-tiba berpindah). Faktanya, konsumennya tetap di situ, populasinya tetap besar (8 miliar jiwa), semuanya butuh

Moral Manusia Indonesia (1)

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia TIADA bayi yang lahir sudah bermoral. Karena itu wajar kalau anak sampai umur tiga atau empat tahun berbuat suka-suka dia sendiri. Ia bisa bermain sama teman-teman seusianya sambil berlari-larian dan menjerit-jerit tanpa peduli ada mbahnya yang sakit, atau tetangga yang kebisingan. Baru sesudah orang tuanya marah, dia berhenti. Jadi dia berbuat baik (tidak mengganggu orang) karena takut dimarahi mamanya, takut kena hukuman. Atau bisa juga karena mamanya mengiming-imingi permen atau mainan. Jadi anak menurut karena mencari hadiah. Psikolog Lawrence Kohlberg (1927-1967) menyebut perilaku anak yang seperti itu sebagai tahap paling awal dari perkembangan moral, yang dinamakannya tahap “taat karena ganjaran (reward) atau hukuman (punishment). ”Ketika anak itu lebih besar, sekitar enam sampai sepuluh tahun, dia tidak menunggu dimarahi atau diiming-imingi hadiah, melainkan sudah menilai situasi yang menguntu

Moral Manusia Indonesia (2)

SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya pada Kamis, 28 November 2013, saya mengetuai sidang promosi doktor di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Judul disertasi yang diajukan promovenda (calon doktor) Selviana adalah “Perilaku Moral pada Remaja: Suatu Penelitian pada Remaja di Sekolah Mahanaim”. Dalam disertasi itu Selviana menguji bagaimana hubungan antara religiusitas, empati, situs jejaring sosial, dan social capital dengan perilaku moral remaja. Pada masa kenakalan remaja makin meningkat, baik secara kuantitatif (makin sering, makin banyak) maupun secara kualitatif (makin sadis, jatuh korban jiwa), penelitian ini menjadi sangat penting. Awam sering menduga bahwa yang terpenting untuk perilaku moral adalah religiusitas. Makin religius makin baik perilaku moral seseorang. Karena itu, untuk mengatasi kenakalan remaja, perlu ditambah pelajaran agama. Faktor kedua yang sering dianggap sebagai

Manusia Indonesia

Sarlito Wirawan Sarwono* Beberapa waktu yang lalu, ketika melintasi jalan Kapten Tendean, Jakarta, yang sedang direnovasi, saya terkejut ketika melihat salah satu backhoe (alat berat penggali tanah) bermerek “Samsung” (Korea), karena selama ini yang saya ketahui Samsung adalah produser HP, smart phone, gadget dan barang-barang elektronik, yang sudah jauh menggusur posisi Sonny dan Nokia (Jepang), tetapi bukan produsen alat-alat berat. Tetapi bukan itu saja, di Indonesia para Korea ini sudah mulai menggusur Jepang di bidang kuliner (Resto Korea versus Resto Jepang), budaya pop (K-pop, Gangnam style, Boys band, Sinetron Korea dll), dan otomotif (“H” dari Hyundai versus “H” dari Honda). Padahal Korea pernah “dijajah” Jepang (1876-1945) dan orang Korea punya dendam kesumat kepada orang Jepang. Tetapi dendam itu tidak dibalaskan dengan perang lagi atau agresi politik, melainkan dengan kerja keras yang menghasilkan prestasi di bidang teknologi, ekonomi dan budaya. Dalam waktu 70 tahun k

IndonesiaX dan Disrupsi Pendidikan Kita

4 February, 2016 , by Rumah Perubahan Saya kerap mendapat curhat dari para orang tua tentang wajah dunia pendidikan kita. Jumlahnya tak terhitung. Saya ingin berbagi salah satu di antaranya. Ini dari orang tua yang anaknya duduk di sekolah dasar. Dia heran setengah mati ketika tahu anaknya dianggap tidak piawai dalam menyerap mata pelajaran komputer. Kok bisa? Di rumah, sang orang tua menyaksikan sendiri betapa lincahnya sang anak mengoperasikan komputer. Baik untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah, berkirim   e-mail   sampai main game. Lalu, mengapa nilainya jelek? Rupanya ini karena nilai ulangan tertulisnya yang jelek. Pada soal ulangan tertulis, di situ sang anak diminta menjelaskan apa itu tombol ”Enter”, tombol ”Shift” atau ”Esc” dan fungsi-fungsinya. Semuanya serbateori. Sang anak bingung. Dia jelas tahu cara pakainya, tapi tak bisa menjelaskan teorinya. Akhirnya dia memilih tidak menjawab, sehingga nilainya pun jelek. Anda yang membaca curhat tadi tentu mer

Dua Generasi di Dunia Pendidikan

Dua Generasi di Dunia Pendidikan Kita – Koran Sindo 24 March, 2016 , by Rumah Perubahan Mungkin Anda sudah sering mendengar ucapan Marc Prensky, penulis buku Digital Game-Based Learning, bahwa kehadiran teknologi digital membuat dunia pendidikan terbelah dalam dua kelompok besar,   digital immigrants   dan   digital natives . Apa itu?  Digital immigrants , sesuai istilahnya, adalah kaum pendatang di era digital. Mereka ini generasi yang lebih tua, lahir sebelum berkembangnya teknologi komputer, internet, apalagi smartphone. Kalau dalam dunia pendidikan, mereka inilah yang sekarang menjadi dosen atau guru. Sementara itu, digital natives adalah anak-anak muda yang lahir setelah era internet. Sejak kecil sudah melek teknologi, seperti internet, komputer, ponsel atau smartphone, animasi, aplikasi dan berbagai produk digital lainnya. Kita sering menyebut mereka dengan istilah generasi Y dan millenials. Mereka inilah yang sekarang menjadi murid di sekolah-sekolah, atau mahasiswa

Generasi Z

Pedagogi Zetizen Fathurrofiq  ;  Mengajar bahasa di Al Hikmah Surabaya; Sedang menyusun kurikulum Filsafat Bahasa untuk rintisan Sekolah Tinggi Ilmu Alquran dan Sains (STIQSI) Al Ishlah Sendang, Paciran, Lamongan (JAWA POS, 16 Maret 2016) ISU generasi Zetizen telah digemakan oleh Jawa Pos. Rahma Sugihartati (Jawa Pos, 11/03/2016) dari Unair memberikan opini yang menyasarkan kritik pada dunia pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah. Terutama di sekolah yang masih gagap memberikan respons pedagogis pada fenomena munculnya generasi ini. Pada aras inilah peran pendidik sebagai agen kurikulum dalam pendidikan perlu diredefinisi. Gawai, Dunia Baru Begitu anak dibelikan gawai (gadget), ia akan memasuki dunianya dengan sangat khusyuk. Dunia yang tergenggam di ponsel cerdasnya itulah yang membuatnya sangat cepat berkomunikasi dengan sejuta orang yang nun jauh darinya.' Namun, pada saat yang sama, dunia yang dapat ia lipat dengan cepat dan tipis di tangannya itu juga memben

Propaganda 2.0

Era demokrasi Indonesia saat ini tak lepas dari peran media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Path, dan Instagram. Beragam isu menjadi terdengar dan akhirnya menjadi agenda penting di masyarakat karena disuarakan melalui media sosial dan didengungkan oleh media massa. Beberapa kali pula isu nasional di Indonesia menjadi tren global dunia karena masifnya sebuah isu dipantulkan dari satu akun ke akun yang lain. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga berutang besar kepada netizen atas jasa memopulerkan dirinya di media sosial. Kita tentu masih ingat betapa pada hari-hari pilpres lalu, menulis sebuah status dukungan di media sosial untuk salah satu calon bukanlah hal mudah. Bahkan, hingga hari ini, sebuah status Facebook atau tweet yang berbau politik masih cukup sensitif dan dapat memancing berbagai bantahan dan komentar. Inilah era demokrasi di mana propagandis lebih mudah menyebarkan kebencian. Media sosial membuka ruang lebih luas untuk menyetir isu dan opini di masyarakat