Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

"Esteem Economy", Ketika Setiap Orang Haus Pengakuan

Iseng-iseng saya bertanya pada ibu-ibu peserta seminar dan pelatihan “Marketing in Disruption” di Rumah Perubahan: “Pernah selfie dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?” “Sering” jawab mereka. Lalu apa yang dirasakan kalau sejam tak ada yang kasih jempol, “like,” atau “share”? Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa riang. Menertawakan diri sendiri. Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau tidak, gelisah.” Begitulah Esteem Economy. Manusia gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak sodor. Ah benar-benar jadul. “Manusia baru” atau kids zaman now yang hari-hari ini mengisi perekonomian kita adalah manusia cyber. Seperti yang ditulis oleh pioner Cyberpsychologyst Marry Aiken, “ketika menapakkan kaki ke semak-semak belukar, intuisi manusia langsung mengatakan: “Awas ular.”

Sebelum Honda Menjadi Raja di Jalan Raya

Di beberapa daerah, ada istilah unik untuk menyebut kendaraan roda dua. Mereka tak menyebutnya sebagai sepeda motor. Lidah orang-orang di daerah-daerah itu lebih suka menyebut sepeda motor sebagai: honda. Istilah honda, bukan dari Indonesia, tapi dari Jepang. Di Jepang, sepeda motor tak disebut sebagai honda, melainkan Baiku. “Semua sepeda motor di Madura, apa pun mereknya, selalu disebut Honda,” tulis Islahudin dalam Gus Dur Menertawakan NU (2010). Saat Jepang menjajah Indonesia, Honda hanyalah nama pemuda yang gandrung otomotif. Nama lengkap pemuda itu: Soichiro Honda. Pemuda kelahiran 17 November 1906 ini, menurut Mick Walker dalam British Motorcycles of the 1960s and ’70s, sudah mulai berbisnis suku cadang piston ring di bawah bendera Tokai Seiki. Setelah kecelakaan yang dialami pada 1936, menurut Peter Rakestrow dalam The Honda Gold Wing (2016), Honda kemudian mendirikan perusahaan sendiri pada November 1937. “Selama masa-masa perang, 1937-1945, perusahaan Honda, Toka

Generasi Milenial (2)-Budi Darma

SEMENTARA ITU, pengategorian usia juga mengalami perubahan. Dulu ada kategori children (anak-anak), teenagers (sekitar umur belasan sampai awal dua puluhan tahun), young adults (remaja), dan adults (dewasa). Karena anak-anak dan remaja setiap hari dihadapkan pada sajian untuk orang dewasa lewat gawai, istilah teenagers sekarang sudah tidak dipakai lagi. Sebab, pada dasarnya sekarang teenagers sudah tidak ada lagi. Teenagers dan young adults digabung menjadi satu, yaitu young adults. Generasi Y dan Z sekarang juga sudah bercampur baur. Dalam kategori usia, teenagers tersingkir. Dalam kategori generasi, generasi X juga tersingkir. Demonstrasi para pengemudi taksi dengan tujuan menghapus taksi daring (online) menyiratkan tanda bahwa generasi X sudah tersingkir, meskipun tentu saja bergantung orangnya. Sampai sekarang, misalnya, ada beberapa orang berusia lanjut yang mampu mengoperasikan gawai dengan baik. Generasi Y dan Z tidak mungkin lepas dari gawai. Juga, hampir selamanya

Generasi Milenial (1) - Budi Darma

ADA generasi diam, ada generasi baby boomers, ada generasi X, ada generasi Y, ada pula generasi Z, dan masing-masing punya ciri-ciri sendiri. Generasi diam lebih ditujukan kepada perempuan: Berapa pun anak mereka, mereka menerima apa adanya. Kalau jumlah anaknya dua itu baik-baik saja, kalau jumlah anaknya anak tujuh juga tidak apa-apa, dan kalau jumlah anaknya sembilan ya tidak ada masalah. Itulah tipe perempuan zaman pra-Perang Dunia (PD) I sampai beberapa tahun setelah PD I usai. Dalam pemikiran Elaine Showalter, perempuan semacam itu berada pada tahap female. Yaitu, perempuan diapa-apakan tidak apa-apa, toh bagaimanapun mereka adalah perempuan. Dan perempuan menerima kodratnya sebagai mana adanya. Kendati PD I dianggap sebagai perang yang sangat dahsyat, jumlah negara yang terlibat dan akibatnya tidak sedahsyat PD II. Pada 1939 Jerman menduduki Polandia. Dan dari peristiwa itulah PD II meletus. Jumlah negara yang terlibat bukan main banyak, demikian juga jumlah orang yang c

Mengapa Anak yang Pintar di Sekolah Bisa Alami Kesulitan Ekonomi?

Seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya. Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu "ada main" dengan dosen-dosennya. "Karena mereka tak sepintar aku," ujarnya. Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit.  Mungkin inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan. Hadiah orangtua Psikolog Stanford University, Car

KALAU MAU ANAK HEBAT, ORANGTUA HARUS BERUBAH

Saya sebenarnya sangat tertarik pada cerita dosen Unair yang sayang saya tak tahu namanya. Di beberapa WhatsApp saya baca rekaman momen yang dia catat saat menerima seorang siswa SLB yang mencari alamat. Dari Jogja, anak SLB itu ditugaskan gurunya mencari alamat di Surabaya. Itulah penentuan kelulusannya. Dosen tadi merekam momen itu yang menyebabkan kebahagiaan si siswa. Sewaktu didalami, pak dosen mencatat, anak itu tak boleh diantar, tak boleh pakai taksi atau becak. Harus cari sendiri walau boleh bertanya. Ya, seorang diri. Saya pikir di situ ada tiga orang hebat. Pertama adalah gurunya yang punya ide dan berani ambil risiko. Bayangkan, ini siswa SLB dan kalau dia hilang, habislah karir pak/bu guru itu. Apalagi kalau dia anak pejabat atau orang berduit. Kata orang Jakarta, ''bisa mampus''. Saya sendiri yang menugaskan mahasiswa satu orang satu negara pernah mengalami hal tersebut. Kedua, orang tua yang rela melepas anaknya belajar dari alam. Ya, belajar